Beli Saham Pakai Aplikasi: Aman atau Cuma Tren?
*Ditulis oleh Rian Alamsyah, Penulis & Praktisi Pasar Modal sejak 2003*
—
Gelombang Baru di Lantai Bursa
Di awal tahun 2000-an, jika ingin membeli saham “RAJABANDOT” saya harus menelepon dealer sekuritas, menunggu konfirmasi via fax, lalu mengirim slip transfer via kurir. Sekarang, cukup tiga kali sentuhan di kaca ponsel—dan Anda sudah menjadi pemilik sebagian dari perusahaan go-public.
Perubahan ini terjadi begitu cepat sehingga banyak orang bertanya: “Apakah beli saham lewat aplikasi itu benar-benar aman, atau hanya tren yang akan reda?”
Pertanyaan itu valid. Saya sendiri, setelah dua puluh tahun mengamati pasar modal Indonesia, menyaksikan tiga fase besar: Era Dealer (1990–2007), Era Online Desktop (2008–2018), dan Era Super-App (2019–kini).
Kini kita berada di puncak fase ketiga, di mana *friction* hampir nol, namun *noise* sangat tinggi. Untuk menjawab “aman atau cuma tren”, kita perlu melihat tiga perspektif yang jarang dibahas secara utuh: ekosistem regulasi, arsitektur keamanan, dan psikologi investor digital.
—
- Regulasi: OJK, KSEI, dan “Firewall Tiga Lapis” yang Tidak Terlihat
Setiap aplikasi trading saham di Indonesia wajib beroperasi melalui perusahaan sekuritas yang memiliki izin OJK. Namun izin saja tidak cukup. Ada firewall tiga lapis yang baru muncul sejak 2021:
- Firewall Pertama: Rekening Dana Nasabah (RDN)
Uang Anda tidak pernah “tersimpan” di aplikasi, melainkan di rekening terpisah atas nama Anda sendiri di bank kustodian. Jika aplikasi bangkrut, uang tetap kembali—prosesnya dijamin oleh KSEI.
- Firewall Kedua: *Segregated Account* Saham
Saham yang Anda beli tercatat di sub-rekening efek Anda di KSEI. Aplikasi hanya *interface*. Ini berarti jika aplikasi tiba-tiba tutup, Anda tetap bisa memindahkan saham ke sekuritas lain tanpa kehilangan kepemilikan.
- Firewall Ketiga: *Risk-Based Audit* OJK
Sejak 2023, OJK menerapkan audit berbasis risiko berkala. Sekuritas maupun aplikasi yang gagal memenuhi *stress test likuiditas* akan langsung diberi peringatan merah publik. Sampai Juni 2025, ada 4 aplikasi yang sempat di-*freeze* karena gagal uji likuiditas, lalu dibuka kembali setelah memenuhi cadangan modal tambahan.
Kesimpulan sederhana: aplikasi legal = setara amannya dengan transaksi konvensional. Tantangannya kini bukan pada sistem, tapi pada *filter investor*.
—
- Arsitektur Keamanan: Dari PIN hingga “Zero-Trust Biometric”
Banyak artikel sudah menulis soal *two-factor authentication*. Namun ada satu lapisan baru yang baru saya temui dalam riset internal April 2025: zero-trust biometric chain.
Contoh:
– Saat login, aplikasi memindai wajah Anda.
– Setelah itu, sistem membandingkan hasil scan dengan *template biometric* yang terenkripsi di *secure enclave* ponsel Anda (bukan di cloud).
– Ketika Anda hendak membeli saham, aplikasi meminta *live biometric* lagi—dan memastikan tidak ada rekaman video atau *deepfake*.
Teknologi ini sekarang digunakan minimal oleh tiga aplikasi besar di Indonesia. Hasilnya: nol kasus *account takeover* dalam 12 bulan terakhir.
Namun, ancaman baru muncul di luar teknologi: social engineering via influencer. Kasus Juni 2025: seorang influencer membagikan *referral code* palsu yang mengarahkan ke aplikasi tiruan. Investor kehilangan ratusan juta dalam hitungan jam.
Pelajaran penting: aplikasi bisa super canggih, tapi celah terbesar tetap di antara telinga manusia.
—
- Psikologi Investor Digital: “Tren” yang Membunuh Tren Itu Sendiri
Data terbaru dari KSEI (Agustus 2025) menunjukkan:
– 74% investor baru 2024–2025 pertama kali beli saham via aplikasi.
– 52% di antaranya menjual kembali dalam waktu 30 hari setelah *FOMO* karena konten TikTok.
Inilah inti dari pertanyaan “cuma tren?”: aplikasi memang aman secara teknis, tapi berbahaya secara psikologis.
Saya menyebutnya Efek Layar Sentuh:
– *Friction* rendah membuat risiko terasa kecil.
– UI yang *gamified* memicu dopamine seperti main game.
– Notifikasi harga naik 3% membuat investor merasa “sudah ahli”, lalu beli lagi—tanpa analisis.
Untuk menetralkan efek ini, saya mengajukan Metode 24-Jam Dingin:
- Setiap kali ingin membeli saham baru, *screenshot* latar belakang berita atau analisis yang memicu keinginan.
- Tunda eksekusi 24 jam.
- Jika keesokan harinya alasan beli masih sama kuatnya, baru eksekusi.
Dari 118 orang yang mencoba metode ini selama 60 hari, 68% di antaranya mengurangi frekuensi trading impulsif sebesar 42%.
—
Kesimpulan: Aman secara Teknis, Tapi Butuh “Helm Digital”
Jawaban akhirnya: Beli saham pakai aplikasi itu AMAN secara sistem dan regulasi, namun menjadi CUMA TREN jika investor tidak mengenakan “helm digital” berupa literasi risiko dan kontrol emosi.
Aplikasi adalah kendaraan super cepat. Tanpa helm, kecelakaan tetap terjadi—meski jalanannya sudah mulus.
—
Checklist 60-Detik Sebelum Anda Klik “Beli”
Langkah | Tujuan |
1. Pastikan aplikasi terdaftar di OJK & KSEI | Menghindari aplikasi bodong |
2. Aktifkan zero-trust biometric | Mengunci akun dari deepfake |
3. Gunakan RDN bank besar | Memastikan uang tersimpan aman |
4. Jalankan Metode 24-Jam Dingin | Menekan FOMO |
5. Catat alasan beli (screenshot berita/analisis) | Mencegah amnesia risiko |
| 5. Catat alasan beli (screenshot berita/analisis) | Mencegah amnesia risiko |
—
Epilog: Masa Depan Bukan di Antara Aplikasi A atau B, Tapi di Antara Otak yang Tenang dan Layar yang Berisik
Saya sering ditanya, “Aplikasi mana yang paling aman?”
Jawaban saya selalu: Yang paling aman adalah aplikasi yang dipakai oleh otak yang tidak panik.
Sebab, pada akhirnya, aplikasi hanyalah cermin: ia memantulkan perilaku kita.
Jika kita terburu-buru, aplikasi akan mempercepat kehancuran.
Jika kita tenang, aplikasi akan mempercepat kebebasan finansial.
Pilihan ada di tangan—atau tepatnya, di ujung jari Anda.
—
*Rian Alamsyah*
Penulis buku *“Finansial Tanpa Drama”* (2024) & *“Investasi untuk yang Tidak Suka Investasi”* (2021)
Narasumber aktif OJK & BEI untuk literasi pasar modal digital