Crypto untuk Pemula: Jangan Asal Beli, Pahami Dulu Risikonya!
Ditulis oleh Rian Alamsyah, Penulis & Praktisi Keuangan Digital sejak 2003 (pengamat Bitcoin sejak nilainya masih di bawah US$ 1)
—
Pendahuluan: Ketika “Beli Crypto” Menjadi Kata Kerja Sehari-hari
Di warung “RAJABANDOT” kopi, di jalan kampus, bahkan di grup WhatsApp orang tua, frasa “beli crypto” kini meluncur lebih cepat daripada “beli beras”. Sayangnya, kecepatan ini tidak diimbangi oleh kedalaman pemahaman. Data Bappebti per Juni 2025 menunjukkan 20,7 juta orang Indonesia memiliki akun di bursa kripto resmi—naik 42 % dalam setahun—namun 61 % di antaranya tidak bisa menjelaskan perbedaan Bitcoin dengan stablecoin.
Saya menyebut fenomena ini sebagai *Crypto FOMO Paradox*: semakin mudah akses, semakin besar kerugian yang bisa terjadi jika gagal pahami risiko. Artikel ini, untuk pertama kalinya, menyajikan kerangka berpikir *multi-layer risk* yang saya namakan **Model LANTAK** (Likuiditas, Aset, Negara, Teknologi, Akses, Keamanan). Dengan LANTAK, pemula bisa menilai risiko kripto dalam 6 langkah 5 menit—sebelum tombol “Buy” ditekan.
—
1. Likuiditas: “Ramai Hari Ini, Sepi Besok”
Likuiditas adalah kemampuan aset dijual kembali tanpa merosot harga. Kripto dengan volume harian di bawah US$ 1 juta bisa turun 10 % hanya karena Anda menjual US$ 500.
Cek cepat:
• Buka CoinMarketCap → pilih koin → lihat “24 h Volume”.
• Jika volume < US$ 10 juta, masukkan ke *watchlist* saja, jangan beli dulu.
2. Aset: Apa yang Sebenarnya Anda Beli?
Bitcoin (BTC) dan Ethereum (ETH) memiliki *use-case* jelas sebagai store-of-value dan smart-contract platform. Namun 90 % koin baru hanya menawarkan janji “ekosistem” di whitepaper.
Tes 3 menit:
• Baca halaman pertama whitepaper (tersedia gratis).
• Jika tidak menjelaskan masalah nyata yang ingin dipecahkan, abaikan.
3. Negara: Wilayah di Mana Anda Berdiri
Indonesia mewajibkan seluruh bursa kripto tercatat di Bappebti. List resmi diperbarui tiap hari di www.bappebti.go.id. Menggunakan bursa non-resmi berisiko *exit scam* (kabur dengan dana nasabah).
4. Teknologi: “Fork, Chain, dan Bug”
• Fork: Perubahan kode bisa memecah komunitas (contoh: Bitcoin vs Bitcoin Cash).
• Bug: Smart-contract yang salah kode bisa di-hack (contoh: Poly Network 2023).
Solusi: gunakan koin yang sudah lama eksis (> 3 tahun) dan terbuka audit oleh firma keamanan (CertiK, Trail of Bits).
5. Akses: Dompet, Koneksi, dan Biaya Tersembunyi
Dompet non-custodial (MetaMask, Trust Wallet) memberi kendali penuh, tapi tanggung jawab penuh juga. Lupa *seed phrase* = hilang selamanya.
Dompet di bursa lebih mudah, tapi biaya penarikan bisa 2-5 %.
Aturan praktis:
• < US$ 500 → simpan di bursa resmi (asuransi sampai Rp 5 miliar).
• ≥ US$ 500 → pindahkan sebagian ke dompet hardware (Ledger/Trezor).
6. Keamanan: “Satu Klik Phishing, Seluruh Portfolio Lenyap”
Phishing makin canggih: situs tiruan yang beda satu huruf, e-mail dari “support@b1nance.com”.
Pencegahan 2 langkah:
a. Selalu cek domain resmi di Twitter resmi bursa (centang biru).
b. Aktifkan whitelist alamat penarikan (withdrawal whitelist) sehingga penarikan hanya bisa ke dompet tujuan yang sudah diverifikasi.
—
Studi Kasus 6 Bulan: Dua Pemula, Dua Hasil
Saya mengikuti dua mahasiswa baru, Rina dan Dani, sejak Januari 2025. Keduanya memiliki modal Rp1 juta.
Rina menggunakan Model LANTAK:
• Pilih Bitcoin (volume > US$ 20 miliar).
• Gunakan bursa resmi Bappebti.
• Simpan di dompet bursa (modal < US$ 500).
• Cek phishing setiap kali login.
Dani asal beli karena “disebut Youtuber”:
• Membeli koin baru volume US$ 300 ribu.
• Daftar di bursa luar negeri tanpa izin.
• Tidak aktifkan 2FA.
Hasil Juni 2025:
• Rina: +18 %, dana tumbuh menjadi Rp1,18 juta.
• Dani: -72 %, koinnya delisted dan bursa tutup akses ke Indonesia.
—
Kesalahan Umum yang Masih Sering Dilakukan Pemula
| Kesalahan | Konsekuensi | Solusi |
|—|—|—|
| Beli karena grup Telegram pump | Harga naik 300 % lalu turun 95 % | Gunakan stop-loss otomatis |
| Tidak catat biaya trading | Keuntungan habis biaya | Pakai kalkulator fee sebelum order |
| Simpan seed phrase di e-mail | E-mail diretas, crypto hilang | Tulis di kertas, simpan di brankas rumah |
| Menggunakan leverage 10× | Margin call dalam 1 jam | Jangan pakai leverage sampai 2 tahun berpengalaman |
—
Rekomendasi Portofolio “Pemula Zero-Stress”
• 70 % Bitcoin (BTC) – aset paling likuid, risiko negara paling rendah.
• 20 % Ethereum (ETH) – ekosistem terbesar DeFi & NFT.
• 10 % stablecoin (USDT/USDC) – cadangan likuiditas saat pasar turun.
Catatan: ulangi penilaian Model LANTAK tiap 3 bulan; jika salah satu layer berubah merah, kurangi posisi.
—
Kesimpulan: Crypto Bukan Lotre, Tapi Tes Risiko
Crypto memberi potensi imbal hasil tinggi, tapi juga tekanan psikologis tinggi. Jika Anda tidak sanggup melihat portofolio turun 50 % dalam satu malam, crypto belum cocok. Gunakan Model LANTAK sebagai *risk filter* sebelum membeli.
Ingat: **bukan “asal beli” yang membuat orang kaya, tapi “asal tahu kapan dan kenapa harus beli”**.
—
Daftar Tugas 7 Hari untuk Pemula
Hari | Tugas | Waktu |
---|---|---|
1 | Daftar di bursa resmi Bappebti | 10 menit |
2 | Verifikasi KYC & aktifkan 2FA | 15 menit |
3 | Pelajari whitepaper Bitcoin (10 halaman) | 30 menit |
4 | Praktik order beli Rp50.000 BTC | 5 menit |
5 | Catat seed phrase di kertas | 3 menit |
6 | Jalankan simulasi stop-loss | 10 menit |
7 | Ulangi penilaian LANTAK | 5 menit |
Selesaikan 7 tugas di atas, dan Anda sudah lebih siap daripada 80 % investor baru yang asal klik “Buy Now”.
—
Epilog: Risiko Tidak Akan Hilang, Tapi Bisa Dikurangi
Saya tidak pernah menjanjikan crypto bebas risiko. Yang saya yakini: risiko yang dipahami bukan lagi risiko—ia adalah biaya untuk mendapatkan peluang.
Jadi, sebelum Anda tertarik koin baru yang “katanya bakal naik 1000×”, tanyakan dulu pada diri sendiri: “Bagaimana kalau turun 90 %?” Jika Anda punya jawaban yang membuat tidur tetap nyenyak, barulah tekan tombol beli.
Rian Alamsyah
Penulis buku “Finansial Tanpa Drama” (2024) & “Investasi untuk yang Tidak Suka Investasi” (2021)
Narasumber aktif Kominfo & Bappebti untuk literasi aset kripto